Perbedaan warna kulit merupakan isu yang sensitif dalam olahraga. Namun tidak bisa dipungkiri, atlet kulit hitam dan kulit putih memiliki keunggulan secara fisik yang membuatnya dominan di cabang tertentu.
Dalam cabang lari cepat 100 meter pria misalnya, 25 pemegang rekor dunia terakhir berasal dari ras kulit hitam. Sebaliknya, rekor dunia untuk renang gaya bebas didominasi oleh pria kulit putih sejak tahun 1922.
Dikutip dari Telegraph, Selasa (13/7/2010), berbagai upaya untuk mengungkap fenomena ini selalu mendapat tentangan dari aktivis kesetaraan ras.
Kelompok tersebut cenderung menganggap superioritas di sebuah cabang olahraga lebih ditentukan oleh kultur budaya dan popularitas cabang tersebut.
Cukup masuk akal memang, sebab jika dibandingkan dengan Eropa dan Amerika maka fasilitas di Afrika kurang mendukung perkembangan cabang renang. Sebaliknya, Afrika banyak melahirkan atlet sepakbola sebab di sana cabang tersebut cukup populer.
Meski diyakini akan memicu kontroversi, 2 ilmuwan asal Amerika baru-baru ini mempublikasikan teori yang menjelaskan hubungan antara perbedaan warna kulit dengan prestasi olahraga. Teori tersebut dipublikasikan dalam jurnal internasional Design and Nature.
Dengan membandingkan ukuran tubuh para tentara dari berbagai negara, kedua ilmuwan ini menemukan perbedaan titik berat (center gravity) pada masing-masing warna kulit.
Kulit hitam yang diwakili tentara Afrika Barat memiliki titik berat 3 persen lebih tinggi dibandingkan tentara kulit putih.
Di bidang olahraga, titik berat yang lebih tinggi memberi keuntungan sekaligus kerugian. Keuntungan didapat di cabang lari, sebab waktu yang dibutuhkan untuk mendarat lagi di tanah menjadi lebih cepat 0,15 detik.
Titik berat yang lebih rendah pada kulit putih menjadi keuntungan ketika berada di kolam renang. Pada atlet kulit putih, area tubuh yang berada di atas permukaan air menjadi lebih lebar sehingga dapat mengayuh lebih cepat.
Prof Adrian Bejan dari Duke University yang memimpin penelitian ini mengaku khawatir akan adanya kontroversi atas teori tersebut. Namun akhirnya ia berani untuk mempublikasikannya, terlebih karena partnernya yakni Dr Edward Jones dari Howard University adalah keturunan Afro-Amerika.